Kebijakan Sosial dan Pengembangan Masyarakat: Perspektif
Pekerjaan Sosial
Abstrak
Makalah ini mengkaji kaitan antara Kebijakan Sosial dan
Pengembangan Masyarakat. Tiga pertanyaan sentral yang dibahas meliputi: Mengapa
Pengembangan Masyarakat perlu melibatkan Kebijakan Sosial? Apa peran perumus
atau pembuat kebijakan dalam program-program pemberdayaan masyarakat? Apa
kapasitas yang diperlukan oleh para pemain kebijakan dalam menjalankan mandatnya?
Setelah membahas konsep Pengembangan Masyarakat dan Pengroganisasian
Masyarakat, makalah ini mengidentifikasi beberapa tragedi dalam Pengembangan
Masyarakat yang memunculkan pentingnya Kebijakan Sosial. Peranan pemain
kebijakan dan kompetensi yang harus dimilikinya disajikan sebagai penutup
makalah ini.
1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Komunikasi Pembangunan
Mendukung Peningkatan SDM dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat”, Forum
Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI), IPB Convention Center, Bogor 19
November 2009
2 Penulis adalah Dosen dan Pembantu Ketua I Bidang Akademik,
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung; Konsultan UNICEF; Plan
Internasional Indonesia; dan Local Governance Initiative (LGI), Hungary.
Website: www.policy.hu/suharto; Email: suharto@policy.hu; Cellphone:
081324156999
Pengantar
Banyak disiplin mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja
dengan individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang
memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan
kebijakan, salah satunya adalah Pekerjaan Sosial (Social Work). Sebagaimana
dinyatakan Netting, Kettner dan McMurthry (2004), dalam perspektif Pekerjaan
Sosial konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para
Pekerja Sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan. Melainkan, memberi
pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai
melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.
Oleh karena itu, meskipun Pengembangan Masyarakat (PM)
seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan
individu dan kelompok pada aras lokal, PM yang berkelanjutan menekankan
pentingnya strategi-strategi Kebijakan Sosial yang beroperasi melebihi
pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.
Pengembangan Masyarakat
Disiplin Pekerjaan Sosial menetapkan bahwa PM adalah bagian
dari strategi Praktik Pekerjaan Sosial Makro. Beberapa frasa lain yang sering
dipertukarkan dengan PM antara lain: Community Organizing (CO), Community Work,
Community Building, Community Capacity Building, Community Empowerment,
Community Participation, Ecologically Sustainable Development, Community
Economic Development, Asset-Based Community Development, Faith-Based Community
Development, Political Participatory Development, Social Capital Formation,
dst. (Suharto, 2006; Suharto, 2007).
Di jagat Pekerjaan Sosial, PM seringkali didefinisikan
sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan
berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama
yang setara (Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife, 1995; Netting, Kettner dan
McMurtry, 1993; DuBois dan Milley, 1992). PM adalah strategi Pekerjaan Sosial
dengan mana anggota masyarakat didorong agar
memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki
kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah
yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menafikan
kelompok lain untuk berpartisipasi.
Tujuan utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan
kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran,
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah
kualitas kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan
dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan
kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.
PM bukanlah pendekatan “cetak biru” (blueprint), sekali
jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan; anggota-anggota
masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok formal dan informal untuk
berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai tujuan bersama. Dalam proses
ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan
hidup; difasilitasi dalam merancang solusi-solusi yang tepat; serta dilatih
agar memiliki kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam
maupun di luar komunitasnya.
PM mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan,
akuntabilitas, kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama, dan proses belajar
yang berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM.
PM berkenaan dengan bagaimana mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk
menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne
(1986), prinsip utama Pekerjaan Sosial adalah “making the best of the client’s
resources”. Payne (1986: 26) menyatakan:
Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspektif),
para Pekerja Sosial tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai
sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor
dan sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses
pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan Pekerjaan Sosial adalah menemukan
sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.
Pengorganisasian Masyarakat
Sebagaimana dijelaskan di muka, Pengorganisasian Masyarakat
(Community Organizing/CO) adalah nama lain dari Pengembangan Masyarakat
(Community Development/CD). Saat ini, di negara asal Pekerjaan Sosial, seperti
Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya dinamakan Social Work Macro
Practice, Community Work, CD atau CO saja.
Selama puluhan tahun para pendidik dan praktisi Pekerjaan
Sosial di Indonesia selalu menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata
kuliah inti Pekerjaan Sosial di banyak sekolah Pekerjaan Sosial di Indonesia
hingga kini masih menggunakan nama COCD: Community Organization/Organizing and
Community Development. Saking populernya, frasa ini nyaris tidak diterjemahkan
lagi ke dalam Bahasa Indonesia. Para pengajar Pekerjaan Sosial di Indonesia
seakan merasa berdosa jika tidak menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara
terintegrasi.
CO pada hakikatnya merupakan sebuah proses dengan mana warga
masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan
bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan
orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO
adalah mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumberdaya
yang disepakati bersama pula. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara
populis dan tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau
CO workers biasanya menciptakan gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui
pembentukan kelompok massa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk
bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi diantara mereka yang
terlibat.
Meskipun identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD.
Dalam sejarahnya, CD lebih sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di
negara-negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah
kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering
diwujudkan dalam bentuk “pengembangan ekonomi masyarakat” atau Community
Economic Development (lihat Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife, 1995). PM biasanya
difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal (locality development) di
sebuah permukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya
berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan
buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat
langsung dirasakan oleh penduduk setempat.
Sebaliknya, CO lebih sering diterapkan pada masyarakat
perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek
politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil rights), pembentukan
forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan warga yang merayakan pluralisme,
kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan
advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakt (CO) dan
menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik.
Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah kebijakan
(policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan
draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah
buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS,
pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dst.
Singkatnya, sebagai ilustrasi, jika CD menanggulangi
kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro. Maka, CO
menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa
atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum
pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan
menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak bersifat absolut. Dalam
kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran pendekatan keduanya sangat
mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Dalam makalah ini,
pendekatan CO dan CD
akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja.
Selain konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia,
konsep PM lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.
Tragedi PM
Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat”
(Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan
pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali
terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks
lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial,
Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender, ekslusifisme,
pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial seringkali kurang mendapat
perhatian.
Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang
vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya.
Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa
dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi
produktif berskala mikro, seperti “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau
warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi”
(pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok).
Suharto (2006: vii) menyatakan:
Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti
itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan
lokal dengan analisis kelembagaan dan Kebijakan Sosial secara terintegrasi,
pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan
pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”,
maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan dan pancing
sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada
di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.
Selain karena “jebakan lokalitas” di atas, kegagalan PM juga
bisa disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan
pelaksanaan PM. Merujuk pada pengalaman Robert Chambers di beberapa negara
berkembang yang dikemas dalam bukunya Rural Development: Putting the Last First
(1985) dan pengalaman
penulis yang dibukukan dalam “Kemiskinan dan Keberfungsian
Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (Suharto, 2004),
ditemukan sedikitnya 10 bias dalam PM, yaitu:
1.
Bias perkotaan. PM cenderung banyak di laksanakan di wilayah
perkotaan. Sementara itu daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.
2.
Bias jalan utama. PM lebih banyak dilakukan di
wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan utama. Daerah-daerah terpencil yang
jauh dari jalan raya kurang menarik perhatian karena sulit dijangkau dan kurang
terekpose media massa.
3.
Bias musim kering. Masyarakat seringkali mengalami masalah
kekurangan pangan dan penyebaran penyakit pada saat musim hujan dan banjir.
Namun, program-program PM kerap dilakukan pada saat musim kering ketika mobil
para “development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat mereka
tidak mudah terperosok lumpur.
4.
Bias pembangunan fisik. Donor dan aktivis PM lebih menyukai
melaksanakan program pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan
manusia.
5.
Bias modal finansial. Saat melakukan needs assessment dan
Participatory Rural Appraissal (PRA), baik anggota masyarakat maupun para
aktivis PM tidak jarang terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada
perlunya penguatan modal finansial (kredit mikro, simpan pinjam). Padahal dalam
kondisi modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan
dana, dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar.
6.
Bias aktivis. Program PM seringkali diberikan pada
“orang-orang itu saja” yang relatif lebih menonjol dan aktif dalam menghadiri
pertemuan, mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya.
Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority” menjadi
terabaikan.
7.
Bias proyek. Program PM diterapkan berulangkali pada
wilayah-wilayah yang sering menerima proyek, karena dianggap telah mampu
menjalankan 7 | P a g e
kegiatan dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan “good
locations” ini biasanya menjadi target rutin pelaksanaan proyek-proyek
percontohan.
8.
Bias orang dewasa. Anak-anak dan kelompok lanjut usia yang
pada umumnya dianggap kelompok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka
jarang dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan dan perencanaan program, apalagi
dimasukan sebagai penerima program.
9.
Bias laki-laki. Di daerah-daerah terpencil di Indonesia,
laki-laki pada umumnya lebih sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang
perempuan.
10.
Bias orang “normal”. Para penyandang cacat, termasuk
anak-anak dengan kebutuhan khusus jarang tersentuh program PM. Mereka dipandang
kelompok yang tidak “normal”.
Kebijakan Sosial dan PM
Mengatasi tragedi PM tidak bisa dilakukan melalui
perbaikan-perbaikan PM secara parsial. Melainkan, memerlukan perumusan dan
pengembangan flatform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik.
Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan Sosial
adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan Sosial merupakan
ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik,
yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006: 4): “In
short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve
the quality of people’s live by providing a range of income support, community
services and support programs.” Artinya, Kebijakan Sosial menunjuk pada apa
yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan
dan program-program tunjangan sosial lainnya (lihat Suharto, 2008).
Dalam garis besar, Kebijakan Sosial diwujudkan dalam tiga
kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem
perpajakan (lihat Midgley, 2000; Suharto, 2008). Berdasarkan kategori ini, maka
dapat dinyatakan
bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah
yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari Kebijakan
Sosial. Namun, tidak semua Kebijakan Sosial berbentuk perundang-undangan. Dalam
perspektif yang lain, hukum bisa juga dipisahkan dari kebijakan. Hukum
dipandang sebagai fondasi atau landasan konstitusional bagi Kebijakan Sosial.
Dalam konteks ini, kebijakan dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Di
Indonesia, sebagai ilustrasi, Kebijakan Sosial yang berkaitan dengan
program-program pembangunan kesejahteraan, seperti rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial dirumuskan dengan merujuk
pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Kebijakan Sosial
Kebijakan Lembaga
Praktek Aktual/ Program PM
Hukum
Gambar 1: Hukum, Kebijakan Sosial dan Program PM
Sumber: Suharto (2008: 13)
Meskipun tidak harus berlaku di setiap konteks, Gambar 1
memberi petunjuk bahwa Kebijakan Sosial bisa pula dibedakan dengan kebijakan
lembaga dan praktek aktual. Kebijakan Sosial bisa dijadikan rujukan oleh sebuah
lembaga untuk merumuskan kebijakan lembaga yang kemudian dioperasionalkan dalam
bentuk praktek aktual yang diterapkan di lembaga tersebut. Program-program PM
bisa dilihat sebagai luaran (output) dari kebijakan lembaga, Kebijakan Sosial
atau pun perundang-undangan.
Pemain Kebijakan
Di negara-negara Barat, Kebijakan Sosial sebagian besar
menjadi tanggungjawab pemerintah (Suharto, 2006; Suharto, 2008). Ini
dikarenakan sebagian besar dana 9 | P a g e
untuk Kebijakan Sosial dihimpun dari masyarakat (publik)
melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan
Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan
Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara
kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di
bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut
usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin) (Suharto, 2009).
Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, terjadinya
pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government
(pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), Kebijakan Sosial dipandang
bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah (Suharto, 2006; Suharto,
2008). Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang
diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik
dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan
kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor
yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya Kebijakan Sosial dan kemudian
mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan
dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.
Tabel 1: Pergeseran Paradigma dalam Formulasi Kebijakan
Publik
Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada
dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa
aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam
memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan.
Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara
negara maju dan berkembang
(Winarno, 2004). Struktur pembuatan kebijakan di
negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih
kompleks dari pada di negara-negara berkembang (Suharto, 2008). Proses
perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon
kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good
governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan
sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi
terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap
kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di
Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran
dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam
amandemen konstitusi (Winarno, 2004: 91). Di negara-negara berkembang, seperti
Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh
elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil (Suharto, 2008).
Kebijakan Sosial memiliki peran yang sangat menentukan
keberhasilan program PM (Suharto, 2009). Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM
sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks
ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai
pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem
solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya
lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang
holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam
proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program PM.
Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan
situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi
kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber
kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk
membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan
individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana
mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks
lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.
Kompetensi
Menurut perspektif Pekerjaan Sosial, PM sangat memperhatikan
keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya. Sistem klien dapat
bervariasi, mulai dari individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, sampai
masyarakat (Suharto, 2009). Sementara itu sistem lingkungan dapat berupa
keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit dll. Dalam PM, Pekerja
Sosial menempatkan masyarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan
sekaligus.
Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai
oleh perumus kebijakan yang terlibat dalam PM idealnya perlu mencakup
pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku
manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social
marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo (1994:74), para Pekerja Sosial yang
terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar
belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:
Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai
model-model analisis Kebijakan Sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare
state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus
dalam bidang-bidang dimana praktik Pekerjaan Sosial beroperasi, seperti:
kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat,
peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial
termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.
Keterampilan yang perlu dikuasai meliputi keterampilan
interviu, relasi sosial, studi sosial, pengumpulan dan pengorganisasian dana,
pengembangan dan evaluasi program, serta identifikasi kebutuhan (needs
assessment) (Suharto, 2006). Dengan demikian, perumus Kebijakan Sosial perlu
memiliki kompetensi profesional yang saling melengkapi (Suharto, 2006: 45-46)
seperti:
Engagement (cara melakukan kontak, kontrak dan pendekatan
awal dengan beragam individu, kelompok, dan organisasi).
Assessment (cara memahami dan menganalisis masalah dan
kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah).
Penelitian (cara mengumpulkan dan mengidentifikasi data
sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan
masalah atau mengembangkan kualitas program).
Groupwork (bekerja dengan kelompok-kelompok yang dapat
dijadikan sarana pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan
yang bisa menghambat atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan
masalah).
Negosiasi (bernegosiasi secara konstruktif dalam
situasi-situasi konflik).
Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).
Konseling (melakukan bimbingan dan penyuluhan terhadap
masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
Manajemen sumber (memobilisasi sumber-sumber yang ada di
masyarakat, termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh
bantuan).
Pencatatan dan pelaporan terutama dalam kaitannya dengan
pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.
Senarai Literatur
Barker, R. L. (1987), The Social Work Dictionary, Silver
Spring, MD: National Association of Social Workers
Chambers, Robert (1984), Rural Development: Putting the Last
First, Longman: Harlow
Chambers, Robert (1985), Rural Development: Putting the Last
First, London: Longman
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992). Social Work:
An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon
Ife, Jim (1995), Community Development: Creating Community
Alternatives, Vision, Analysis and Practice, Mellbourne: Longman
Lee J dan Swenson C. (1986), “The Concept of Mutual Aid”,
dalam A. Gitterman dan L. Schulman (eds), Mutual Aid and the Life Cycle,
Itasca: F. E. Peacock
Mayo, M. (1998), “Community Work”, dalam Adams, Dominelli
dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates, London:
McMillan.
Netting, F. Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurtry
(2004), Social Work Macro Practice (third edition), Boston: Allyn and Bacon
Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez
(1994), The Integration of Social Work Practice, California: Brooks/Cole
Payne, Malcolm (1986), Social Care in The Community, London:
MacMillan
Suharto, Edi (2009), Kemiskinan dan Perlindungan Sosial,
Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi (2008), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan
Publik, Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi (2007), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri:
Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
(edisi ke-2), Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi (2007), Analisis Kebijakan Publik: Panduan
Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (edisi ke-4), Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi (2006), Membangun Masyarakat Memberdayakan
Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial
(edisi ke-2), Bandung: Refika Aditama
Suharto, Edi (2004), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial:
Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia, Bandung: STKS Press
Winarno, Budi (2004), Teori dan Proses Kebijakan Publik
(cetakan kedua), Yogyakarta: Media Pressindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar